6.25.2008

tes emoticon

penat:inis::ayokona::wala::wave:roscelebratestar::(

6.24.2008

Sedih

Hari ini saya muak, karena mengalami peristiwa yang mengingatkan kejadian serupa jaman SD dulu. Ingat gak? dulu anak-anak SD sering memanggil teman lainnya pakai nama orang tuanya. Hanya untuk sekedar melucu. Tapi mereka pasti sadar, jauh di dalam hati, bahwa itu merendahkan. Ada apa sih dengan jiwa-jiwa ini? Apa tidak bisa merasa besar tanpa mengecilkan harga diri orang lain?

6.09.2008

Bener-bener dah

Coba dicek website lptui yang ngurusin rekrutasi Pertamina. Itu ga user friendly abiss. Apa sih maunya? Hari gini bikin daftar ga ada fitur pencarian. Trus ngapain itu dibagi2 berdasarkan jadwal tes, emang kandidat lolos seleksi udah pada tau jadwal tes? Jangan karena dapet daftarnya dalam bentuk excel yang dipisah berdasarkan jadwal tes, lantas tampilannya dibikin begituu... huhu... mau jadi apa negeri ini.

6.04.2008

Saya Merinding dan Beristighfar

Kadang ga berasa kalau sudah jadi maling walaupun kecil2an... apalagi 8 jam bekerja memang ditujukan untuk mencari rejeki. Pikirannya rejeki melulu. Apalagi kalau sudah pergi keluar kota, begadang sampai malam untuk bekerja, capek di perjalanan, terpotong libur Sabtu-Minggu. Bawaannya ga rela dikasih uang dinas cuma segitu :p. Well take it or leave it. Ini bukan belum perusahaan kelas dunia yang mampu memberi penghargaan materi sekelas TOTAL *kedip2in Bayu*. Maka saya merinding.. gimana kalo saya bekerja di tempat ini sebelum jaman transformasi, dimana MUO sudah jadi tradisi. Maka rejeki niscaya menjelma menjadi api neraka yang masuk ke perut saya. Maka saya lanjutkan posting ini dengan karya Taufik Ismail yang mengilhami tulisan ini. Semoga saya selalu sadar untuk berusaha ada dalam penjagaan Allah selalu. Amiin.

Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling
Oleh: Taufik Ismail

Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani
hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang,
anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta
anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20 juta
keping, kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan dan beban hutang
di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor
Pegadaian Jagat Raya, dan di punggung kita dicap sablon besar-besar
Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia. Kita sudah jadi bangsa kuli dan
babu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh
harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka
berdukacita karena majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang
disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri
diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali.
Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah
kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa. Mereka
berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan banyak senyumnya. Makin banyak
kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah
dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format
perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu
paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji,
adalah industri korupsi.

Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram,
ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.
Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret,
jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras,
yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di
Indonesia, sudah untung.

Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bersaf-saf
berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu’. Begitu rapatnya
mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya
prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu’nya, engkau
kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling
yang istiqamah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan
sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah
panjang deretan saf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan
lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana
menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas
sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari
yang pegang senjata dan yang memerintah.

Bagaimana ini?

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up
Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim
piatu dan sekolahan.
Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari, kaki kanannya
bersedekah, pergi umrah dan naik haji.

Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak
kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.
Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah?
Jamaahnya kukuh seperti diding keraton, tak mempan dihantam gempa dan
banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang
undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi
bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan
ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara
mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif,
legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pestol dan
mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum?

Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?

Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?

Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan?

Percuma

Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan Insya Allah tak
akan terselesaikan.
Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya mereka mau
dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang
berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan
Allah membuka hati mereka, terutama karena terbanyak dari mereka orang
yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga.

Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada
hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak
sampai hati menegurnya.

Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita,
orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu
dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan
cipratan harta tanpa ketahuan.

Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat
kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen,
tiang,kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit-
langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap. Tempat tidur dan
lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah
anai-anai.

Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai
habis dikunyah-kunyah rayap. Rumah Indonesia menunggu waktu, masa
rubuhnya yang sempurna.

Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya.
Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar.

“Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!” teriak mereka.

“Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!” bantahku.

Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam.

Aku melarikan diri kencang-kencang.

Mereka mengejarkan lebih kenjang lagi.

Mereka menangkapku.

“Ambil bensin!” teriak seseorang.

“Bakar Rayap,” teriak mereka bersama.

Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku.

Seseorang memantik korek api.

Aku dibakar.

Bau kawanan rayap hangus.

Membubung Ke udara.

 
Template by yummylolly.com